Jumat, 25 November 2011

Tukkot Tunggal Panoluan

Legenda Tunggal Panoluan
Konon di Sianjur Mula-mula, tinggallah seorang laki-laki Gagah dan perkasa beliau bernama Guru Hatia Bulan. Beliau adalah seorang dukun, Datu Pangarata, Datu Pangatiha yang bergelar ‘Datu Arakni Pane Nabolon’. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan.


Telah sekian lama mereka menikah, tetapi  mereka belum juga di karuniai keturunan. Suatu ketika perempuan itu (Nan Sindak Panaluan) hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu. Kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh). Bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi musim kemarau yang berkepanjangan dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, dengan demikian permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi retak-ratak dan keras.


Dengan keadaan kemarau yang masih panas yg masih terjadi saat ini, membuat Pemuka (tokoh Masyarakat) kampung itu menjadi risau, lalu mereka pergi menjumpai Guru Hatia Bulan dan berkata kepadanya : 
“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan, hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya”

Lalu Guru Hatimbulan menjawab :
”Semua ini mungkin saja terjadi”
Tokoh masyarakat mengatakan :
”Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat ganjil”

Karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak sampai ada perkelahian, hanya selisih paham saja.

Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatia Bulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan. 
Dengan kelahiran anak kembar tersebut, seketika itu juga hujan turun dgn lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Dengan perasaan senang Guru Hatia Bulan memotong seekor lembu untuk merayakan hal tersebut dan serta-merta untuk menghalau kuasa jahat.

Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.

Usai pesta tersebut, ada beberapa tamu yg telah menasehatkan Guru Hatia Bulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.

Guru Hatia Bulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung itu. Setelah sekian lama terbuktilah apa yang dinasehatkan oleh para penatua itu, benar apa adanya. Dilain waktu, Guru Hatia Bulan pergi ke lereng Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk di sana, dan membawa anak-anaknya kesana.

Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari Guru Hatia Bulan membawakan makanan untuk anaknya tersebut. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon (hau tadatada), pohon yang batangnya penuh dengan duri, dan mempunyai buah yang masak & manis.


Melihat buah pohon itu, maka timbullah hasratnya untuk memakannya, tetapi sebelum dia naik ke pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat (tersisa). Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore belum juga pulang-pulang adiknya. Diapun pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yang terjadi, sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.

Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dengan pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tada-tada itu, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat.

Seperti biasa si Guru Hatia Bulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon duri tada-tada tersebut dan dimana dia hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga. Melihat hal itu diapun menjadi sedih.


Dia menceritakan ini pada kawannya maka kawannya mempertemukan dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tadi untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si Datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan anak si Guru Hatia Bulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yg sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu. Guru Hatia Bulan dan para rakyat kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa, mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dengan mencari datu lain. 

Kemudian Guru Hatia Bulan mendengar kabar ada datu yang masyur, namanya Guru Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama juga.

Kemudian ada juga datang Datu Horbo Marpaung, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada  Si Aji Bahir (Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah roh, juga pada Datu  Si Baso Bolon. Seekor ular panjangpun meloncat juga di telan pohon itu. 

Guru Hatia Bulan sudah kehabisan akal karena ia telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik (gondang), pele-pelean, dan semua yang diminta para datu itu untuk roh yang ada di pohon tersebut.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan pada Guru Hatia Bulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu, Asalkan Guru Hatia Bulan mempercayai omongan si datu itu dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. 
Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah, roh air, roh kayu dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tersebut.

Guru Hatia Bulan mempersiapkan semua yang diperlukan oleh si datu untuk upacara tersebut sesuai dengan arahan si datu. Sesuai Petunjuk Datu mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yang ada di pohon tersebutpun jadi menghilang, begitu juga anjing dan ular yang tertelan pohon tersebut tadi. Semua orang yang menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru Hatia Bulan: "Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini”. 
Guru Hatia Bulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, 1 seperti manusia seekor anjing dan seekor ular.

Setelah selesai mengukir tongkat tersebut sesuai dengan wajahnya, maka semua orang kembali ke kampung Guru Hatia Bulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Dia juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang di ukir dalam tongkat tersebut. Setelah Guru Hatia Bulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Sekarang Giliran datu Parpansa Ginjang manortor (menari), melalui tortor ini dia kesurupan, dirasuki roh-roh dari orang-orang yang pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:

1. Si Aji Donda Hatahutan.

2. Siboru Tapi Nauasan.

3. Datu Parmanuk Koling yaitu Datu Pulo Punjung nauli.

4. Guru ManggantarPorang yaitu Guru MaranginBosi Si Datu Mallatang-maliting.

5. Si Sanggar Meoleol yaitu Datu Horbo Paung.

6. Si Upar mangalele yaitu Datu Siparjambulan Melbus-elbus.

7. Barita Songkar Pangururan yaitu Si Aji Bahir (Jolma So Begu).
8. Datu Si Baso Bolon.
9. Anjing dan ular

Dan mereka berkata, “Wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari wajah kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam, kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini aku tidak dapat mengukir wajah kalian”. Tetapi si pisau berbalik membalas, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”. Si tukang besi pun tidak ingin disalahkan lalu berkata, “Jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi”. Angin pun menjawab,”Jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru Hati Bulan”. ketika semua tertuju pada Guru Hati Bulan, maka roh itu berkata melalui si datu, “Aku mengutukmu, Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku”.

Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik, “Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”.

Lalu Roh itu berkata: “Baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku untuk: menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri, dan menghalau wabah Penyakit"

Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing. Adapun tinggi tongkat Tunggal Panaluan sekitar 170-179 cm dan biasanya dimiliki oleh Datu Bolon (dukun besar) yang punya ilmu cukup tinggi.

Demikianlah Legenda Tunggal Panoluan

1 komentar:

Terima Kasih

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.