Jumat, 25 November 2011

Pustaha Laklak

PUSTAHA LAKLAK

1. Pendahuluan
Arkeologi sebagai disiplin ilmu selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Disiplin ilmu ini tidak dapat lagi membatasi diri hanya pada permasalahan yang berhubungan dengan masa lalu, tetapi harus juga mengikuti arus perkembangan masyarakat di masa sekarang dan masa depan. Peran serta masyarakat terhadap bidang kajian arkeologi tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan, maka sudah sepantasnyalah arkeologi turut berperan dalam pembangunan. Salah satu caranya adalah dengan menunjukkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peran dan manfaat arkeologi bagi masyarakat itu sendiri, baik menyangkut disiplin ilmu maupun objek kajian.
Muncul dan berkembangnya bidang kajian arkeologi publik dewasa ini merupakan suatu bentuk kepedulian disiplin ilmu arkeologi kepada masyarakat. Dalam kajian arkeologi publik, yaitu kajian yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mepresentasi hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat, terdapat tiga pihak utama yang berperan penting. Dalam hal ini adalah pihak pemerintah, akademisi, dan publik atau masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, seperti yang baru-baru ini diketahui, pemerintah dalam usahanya meningkatkan kualitas dan pendapatan negara membuat suatu gagasan tentang pengenalan industri kreatif.
Pada tanggal 22 Desember 2008, pemerintah mencanangkan tahun 2009 sebagai ‘Tahun Indonesia Kreatif’ yaitu industri yang bergerak melalui pengembangan ide-ide kreatif. Industri kreatif dipahami sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan kerja dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta industri tersebut. Menurut metode penghitungan dengan menggunakan data sekunder yang berbasis KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) dari BPS (Badan Pusat Statistik) setidaknya terdapat 14 subsektor yaitu:
  1. periklanan, 
  2. arsitektur, 
  3. pasar seni dan barang antik, 
  4. kerajinan, 
  5. desain, 
  6. fashion, 
  7. video film dan fotografi, 
  8. permainan interaktif, 
  9. musik, 
  10. seni pertunjukan, 
  11. penerbitan dan percetakan, 
  12. layanan komputer dan piranti lunak, 
  13. televisi dan radio, 
  14. riset dan pengembangan. 
Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah peluang untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang nantinya dapat menjadi komoditas industri berkaitan dengan kekayaan budaya masyarakat setempat. Adapun arkeologi dapat menjadi motor penggerak dalam pengembangan industri kreatif terutama yang menyangkut tentang kebudayaan.
Meskipun program industri kreatif baru dicanangkan, namun apabila dilihat di beberapa tempat khususnya Sumatera Utara, dalam usaha pengenalan objek wisata sudah banyak yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat dalam mengembangkan industri kreatif ini. Misalnya, Danau Toba yang merupakan salah satu ikon Sumatera Utara, dalam usaha pengenalan objek wisata kepada msyarakat luas, bahkan sampai mancanegara, salah satunya dengan melalui pembuatan souvenir. Menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, souvenir diartikan cindera / cindur / tanda mata, kenang-kenangan, sagu hati. Souvenir memiliki arti penting bagi wisatawan yang datang ke sebuah objek wisata. Selain kepuasan menikmati objek wisata yang mempesona, souvenir digunakan sebagai kenang-kenangan untuk mengenang bahwa wisatawan pernah berkunjung ke objek wisata tersebut. Selain itu, souvenir dapat juga dijadikan sarana publikasi dan promosi objek wisata agar mampu menarik wisatawan lain untuk berkunjung ke tempat tersebut. Souvenir dapat bermacam-macam mulai dari benda-benda modern sampai barang-barang antik dan khas, atau miniatur dari obyek wisata itu sendiri. Beberapa di antaranya dapat berupa hiasan dinding, gantungan kunci, miniatur candi. Salah satu benda menarik dan khas yang terdapat di Sumatera Utara dan dapat dikembangkan menjadi souvenir adalah Pustaha Laklak. Walaupun saat ini souvenir tersebut sudah diproduksi di beberapa tempat tetapi dapat dikatakan langka di pasar souvenir, terutama di kota Medan.

2. Pustaha Lak-Lak di Masa Lalu

a. Deskripsi Pustaha Laklak
Sudah meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, seperti berbagai ilmu hadatuon di antaranya :
  1. Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu Tanduk, Gadam, dll)
  2. Ilmu putih (Pagar, Sarang Timah, Porsimboraon, dll)
  3. Ilmu lain-lain (Tamba Tua, Dorma, Parpangiron, dll)
  4. Obat-obatan,
  5. Nujum,
  6. Dengan Perbintangan (Pormesa na sampulu dua, panggorda na ualu, pane na bolon, porhalaan, dan sebagainya),
  7. Dengan memakai binatang (Aji nangkapiring, Manuk Gantung, Porbuhiton, dan sebagainya),
  8. Nujum lain-lain (Rambu Siporhas, Panampuhi, Hariara Marsundung dilangit, Parombunan, dan sebagainya).
Dalam penulisan pustaha, para datu menggunakan sebuah ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pÄ›dah di dialek utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai nasehat, tetapi dalam pustaha diartikan lebih mendekati instruksi atau petunjuk. Ragam hata poda yang hanya ada di pustaha merupakan sejenis dialek kuno rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah satu sebab isi pustaha sangat sukar dimengerti dan petunjuk-petunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah yang dibicarakan. Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang dipakai pada pustaha- pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata dari masing-masing daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai dalam pustaha. 
Apabila dilihat dari segi aksaranya, penulisan pustaha menggunakan aksara Batak. Aksara/huruf Batak atau disebut “Surat Batak” adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). 
Aksara Batak dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Ina ni surat
semua ina ni surat berakhir dengan bunyi /a/. Bunyi ini dapat diubah dengan menambah nilai fonetiknya. Terdapat urutan aksara dalam ina ni surat, di antaranya: a-ha-na-ra-ta- ba-wa-i-ma-nga-la-pa-sa-da-ga-ja. Namun urutan ini adalah ciptaan baru dan tidak memiliki landasan tradisional.
2. Anak ni surat
Anak ni surat merupakan pengubah yang disebut diakritik. Diakritik dalam anak ni surat diantaranya:
  • bunyi /e/ atau disebut ‘hatadingan’
  • bunyi /ng/ atau disebut ‘paminggil’
  • bunyi /u/ atau disebut ‘haborotan’
  • bunyi /i/ atau disebut ‘hauluan’
  • bunyi /o/ atau disebut ‘sihora’ atau ‘siala’
  • tanda mati untuk menghilangkan bunyi /a/ pada ina ni surat atau disebut ‘pangolat’.

b. Perkembangan Fungsi dan Makna Pustaha Laklak
Masyarakat Batak mengenal adanya mitos Si Boru Deak Parujar. Mitos ini berbentuk syair sastra lisan yang panjang dan indah yang menceritakan asal mula adanya manusia di tanah Batak. Mitos ini bermula dari seorang puteri Batara Guru yang bernama Si Boru Deak Parujar yang ingin melarikan diri karena dipaksa menikah oleh Batara Guru. Batara Guru merupakan aspek pertama dari Mulajadi Na Bolon sebagai Trimurti. Mulajadi Na Bolon mencakup tritunggal yaitu: 
  • Dewa Batara Guru
  • Dewa Soripada, dan 
  • Dewa Mangalabulan. 
Dalam pelariannya Deak Parujar melihat adanya 3 lapis jagad raya, diantaranya:
  1. Banua Ginjang (Benua Atas) yaitu langit, tempat Deak Parujar, Batara Guru, dan Dewa lainnya tinggal, yang disimbolkan dengan warna putih;
  2. Banua Tonga (Benua Tengah), disimbolkan dengan warna merah;
  3. Banua Toru (Benua Bawah), disimbolkan dengan warna hitam.
Setelah mengalami berbagai peristiwa, akhirnya Deak Parujar hidup di tanah yang nantinya akan menjadi bumi tempat dia dan keturunannya tinggal. Dalam tradisi lisan, masa Deak Parujar (7 keturunan) disusul oleh masa Si Raja Batak. Dari masa mitos ini kemudian beralih ke masa historis (silsilah manusia biasa/jolma). Pada perkembangan selanjutnya muncullah adanya marga-marga dalam suku Batak. Mitos-mitos lisan inilah yang ditanamkan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Batak memang jarang menuliskan beberapa kejadian dalam bentuk sebuah tulisan. Hanya beberapa hal tertentu saja yang dituliskannya pada sebuah media, salah satunya dalam bentuk pustaha. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk 3 tujuan, yaitu: 
  1. ilmu kedukunan (hadatuon), 
  2. surat menyurat (termasuk surat ancaman, biasanya ditulis oleh para Raja), 
  3. dan ratapan.
Pustaha Laklak dikenal jauh sebelum pengaruh Islam dan kolonial datang ke wilayah Sumatera. Pada masyarakat yang masih mengenal kepercayaan alam, Pustaha Laklak digunakan untuk ilmu-ilmu kedukunan (hadatuan). Namun ketika pengaruh Islam dan kolonial masuk ke wilayah Sumatera, keberadaan pustaha ini makin lama makin berkurang. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh Islam dan Kristen yang membawa kepercayaan baru. Dalam tulisan Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak dijelaskan bahwa pada waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk mengadakan perjalanan ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat bahwa daerah tersebut sangat kekurangan pustaha, datu, dan babi sebagai akibat masuknya agama islam ke daerah tersebut. Enam tahun sebelumnya, Willer seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja) di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Portibi dan Angkola tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sangat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya untuk memusnahkan pustaha-pustaha tersebut. Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribumi memilih jalan yang sama dan secara besar-besaran mereka membakar pustaha. Pada tahun 1920-an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk Samosir, Dairi, dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun kebanyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada agama nenek moyangnya, bisa dipastikan bahwa pada waktu itu sudah hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha.
Masyarakat Batak bukan merupakan masyarakat yang hidup terisolir karena dibatasi oleh kondisi geografis yang berbukit-bukit. Sistem adaptasi dan budaya yang berlaku memperlihatkan adanya interaksi dan akulturasi yang lama dengan peradaban-peradaban besar yang ada di Asia Tenggara. Dengan adanya pengaruh luar yang datang ke wilayah Batak, mengakibatkan adanya proses ‘revolusi kebudayaan’ di tanah Batak  yang mengakibatkan:
  1. Perubahan orientasi geografis dari pesisir barat beralih ke pesisir timur;
  2. Perubahan spiritual dari gagasan dunia akhirat agama asli beralih ke teologi Islam dan Kristen;
  3. Perubahan cara berfikir yang banyak terpengaruh mitologi dan paham magic, beralih ke pemikiran rasional-ilmiah;
  4. Perubahan dari ekonomi yang murni agraris dan tertutup ke arah cita-cita kemajuan (hamajuon) membuka pintu dan menyambut jaman baru (modern).

Adanya revolusi kebudayaan inilah yang mengakibatkan berkurangnya bukti-bukti kepercayaan masyarakat Batak ketika belum mendapat pengaruh asing. Keberadaan pustaha laklak pun semakin berkurang. Banyak pustaha yang dihancurkan karena dianggap sesat. Hal ini disebabkan karena perubahan cara berfikir masyarakat yang banyak terpengaruh oleh kepercayaan yang dibawa oleh pihak asing. Sampai saat ini keberadaan pustaha laklak sangat langka karena sebagian besar sudah dimusnahkan dan banyak di antaranya yang dibawa ke Eropa. Sebagian kecil lainnya disimpan di Museum Sumatera Utara serta sebagai koleksi di Perpustakaan Nasional.
Meskipun saat ini tidak ada lagi datu yang menuliskan pustaha, namun bagi masyarakat Batak pustaha masih dianggap sakral dan suci. Dalam konteks yang berbeda dengan para datu di beberapa pengrajin tanah Toba mencoba mereproduksi Pustaha Laklak dalam format yang berbeda tentunya. Pengrajin-pengrajin ini menyalin beberapa aksara Batak dalam sebuah lembaran kayu alim. Tidak ada unsur sakral ataupun suci seperti yang sering dilakukan para datu dalam menuliskan pustaha pada masa lalu.

3. Keberadaan Souvenir Pustaha Laklak

a. Sebuah Pelestarian Budaya Batak
Di beberapa tempat objek wisata khususnya di sekitar Danau Toba, sering kita melihat beberapa toko menjual beraneka ragam souvenir, yang salah satunya berupa Pustaha Laklak. Souvenir ini berupa lembaran-lembaran kertas yang dibuat dari kulit kayu alim yang dilipat-lipat. Lembaran-lembaran ini ditutup dengan kayu tebal yang diukir dengan relief binatang-binatang (biasanya binatang cicak). Lembaran-lembaran dari souvenir Pustaha Laklak ini dipenuhi dengan aksara-aksara Batak yang disertai dengan beberapa gambar sehingga hampir mirip dengan aslinya. Namun kalau diteliti lebih jauh tulisan-tulisan yang terdapat dalam lembaran-lembaran tersebut hanya berupa goresan saja dan tidak dapat dibaca seperti halnya Pustaha Laklak (yang asli).
Meskipun saat ini Pustaha Laklak dibuat dengan tujuan yang berbeda namun keberadaan pustaha ini dulu memiliki makna penting bagi masyarakat setempat. Pustaha Laklak merupakan hasil karya sastra Batak kuno yang saat ini keberadaannya sangat langka. Selain banyak yang dihancurkan karena pengaruh budaya asing dalam hal ini pengaruh Islam dan Kristen, kelangkaan Pustaha laklak juga disebabkan karena sebagian besar banyak yang dibawa ke Eropa. Hanya sebagian kecil saja yang tersisa yang kini masih tersimpan di Museum Sumatera Utara dan Perpustakaan Nasional di Jakarta.
Souvenir Pustaha Laklak dapat dijumpai di beberapa tempat terutama di sekitar wilayah objek wisata seperti Danau Toba dan Brastagi. Selain itu, beberapa toko souvenir di Medan yang mencoba menjadi distributor pustaha dimana pemiliknya mengambil stok langsung dari para pengrajin pustaha di daerah Toba.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan souvenir Pustaha Laklak terbuat dari kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan hutan dataran tinggi. Pohon alim (Aquilaria) banyak dijumpai di daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kabupaten Dairi dan juga di daerah Pulau Raja, Kabupaten Asahan. Adapun alat tulisnya menggunakan tulang kerbau dan tinta hitam. Agar souvenir lebih mudah terjual dan terlihat lebih antik, laklak diolesi zat pewarna yang disebut permagan (kalium permanganat).

Terdapat beberapa hal yang patut disayangkan dalam produksi souvenir Pustaha Laklak. Kebanyakan Pustaha Laklak dan naskah-naskah yang dijual di Medan, Parapat, Brastagi dan Samosir adalah naskah tiruan yang teksnya hanya terdiri atas rangkaian huruf-huruf yang tidak berarti. Setelah di cek ke kampung pembuatannya seperti Sosor Tolong, yang jaraknya sekitar 5 km dari Tomok, ternyata para pengrajin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya. Hasilnya adalah sebuah naskah yang teksnya dikarang oleh orang yang buta huruf yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil ciptaan budaya Batak.

b. Souvenir Pustaha Laklak
Penjualan souvenir Pustaha Laklak ini dapat dikatakan sangat minim. Hanya beberapa buah saja yang dijual di beberapa toko di tempat-tempat objek wisata. Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, tempat pertama kali wisatawan datang baik dengan sarana udara, laut maupun darat ternyata masih kurang menyediakan pengadaan souvenir Pustaha Laklak maupun souvenir-souvenir khas Batak lainnya. Seperti yang bisa kita jumpai di kawasan Kesawan Square, di jalan Ahmad Yani, hanya terdapat tiga toko saja yang menyediakan souvenir-souvenir khas Batak. Souvenir khas Batak yang sering dijajakan kebanyakan berupa kain ulos, hiasan-hiasan dinding seperti miniatur rumah Batak, gantungan kunci, kaos-kaos khas Medan, dan beberapa kerajinan tangan lainnya.
Dalam penyediaan stok barang souvenir Pustaha Laklak atau sering dikenal dengan nama “buku Batak”, masih sangat sedikit dan tidak setiap waktu bisa didapatkan. Setiap toko menyediakan tidak kurang dari sepuluh biji dengan beraneka ukuran dan harganya. Souvenir Pustaha Laklak yang dijual berkisar antara harga Rp.80.000 sampai dengan Rp.150.000 tergantung pada ukuran dan ketebalannya. Konsumen yang berminat membeli souvenir Pustaha Laklak ini kebanyakan wisatawan dari mancanegara. Adapun wisatawan domestik sendiri kurang begitu meminati souvenir ini. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat pentingnya keberadaan Pustaha Laklak yang kini sudah sangat langka ditemukan.
Dalam hal kualitas, apabila dilihat dari isinya, pembuatan Pustaha Laklak ini masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, ide kreatif dari para pengrajin ini sangat inovatif. Meskipun mereka kurang atau tidak paham dalam menulis sebuah pustaha, namun paling tidak terdapat upaya untuk melestarikan warisan leluhur mereka. Dengan adanya pembuatan souvenir Pustaha Laklak ini, selain untuk meningkatkan perekonomian para pengrajin, juga sebagai ajang pengenalan kepada masyarakat umum tentang keberadaan Pustaha Laklak. Dengan demikian, masyarakat baik itu di wilayah Sumatera Utara maupun di luar Sumatera Utara memiliki antusiasme untuk mengenal dan mempelajari warisan nenek moyang masyarakat suku Batak, baik itu Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing (Angkola), Dairi maupun Pakpak.

4. Penutup
Industri kreatif merupakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan kerja dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta industri tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah peluang untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang nantinya dapat menjadi komoditas industri berkaitan dengan kekayaan budaya masyarakat setempat. Salah satu bentuk industri kreatif tersebut tertuang dalam pembuatan souvenir Pustaha Laklak.
Keberadaan Pustaha Laklak yang kini sudah sangat langka dan jarang sekali ditemukan karena sebagian besar warisan budaya Batak ini dibawa ke Eropa sehingga hanya beberapa saja yang kini kita miliki, perlu adanya pengembangan ide untuk menciptakan dan melestarikan keberadaanya. Meskipun tidak dalam bentuk aslinya, namun keberadaan souvenir pustaha laklak ini bisa memberikan sedikit pengetahuan kepada masyarakat tentang keberadaan pustaha di Sumatera Utara. Dengan adanya pembuatan souvenir Pustaha Laklak diharapkan mampu meningkatkan kecintaan kita terhadap warisan budaya dan ada upaya untuk melestarikannya.
Salah satu upaya melestarikan Pustaha Laklak adalah dengan mempelajarinya. Pembuatan souvenir pustaha dapat dijadikan motivator bagi kita untuk lebih banyak mempelajari budaya- budaya bangsa dan tidak melupakannya. Diharapkan juga para pengrajin-pengrajin souvenir Pustaha Laklak lebih banyak mempelajari aksara-kasara dan bahasa-bahasa Batak kuno sehingga dalam pembuatan souvenir pustaha, mereka dapat meningkatkan kualitas isinya. Selain itu, perlu juga peningkatan jumlah pengrajin yang profesional agar mampu meningkatkan kualitas souvenir Pustaha Laklak. Namun demikian, pengrajin-pengrajin pustaha sudah sangat inovatif dan kreatif dalam upaya melestarikan budaya mereka.

Horas

Tukkot Tunggal Panoluan

Legenda Tunggal Panoluan
Konon di Sianjur Mula-mula, tinggallah seorang laki-laki Gagah dan perkasa beliau bernama Guru Hatia Bulan. Beliau adalah seorang dukun, Datu Pangarata, Datu Pangatiha yang bergelar ‘Datu Arakni Pane Nabolon’. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan.


Telah sekian lama mereka menikah, tetapi  mereka belum juga di karuniai keturunan. Suatu ketika perempuan itu (Nan Sindak Panaluan) hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu. Kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh). Bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi musim kemarau yang berkepanjangan dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, dengan demikian permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi retak-ratak dan keras.


Dengan keadaan kemarau yang masih panas yg masih terjadi saat ini, membuat Pemuka (tokoh Masyarakat) kampung itu menjadi risau, lalu mereka pergi menjumpai Guru Hatia Bulan dan berkata kepadanya : 
“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan, hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya”

Lalu Guru Hatimbulan menjawab :
”Semua ini mungkin saja terjadi”
Tokoh masyarakat mengatakan :
”Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat ganjil”

Karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak sampai ada perkelahian, hanya selisih paham saja.

Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatia Bulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan. 
Dengan kelahiran anak kembar tersebut, seketika itu juga hujan turun dgn lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Dengan perasaan senang Guru Hatia Bulan memotong seekor lembu untuk merayakan hal tersebut dan serta-merta untuk menghalau kuasa jahat.

Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.

Usai pesta tersebut, ada beberapa tamu yg telah menasehatkan Guru Hatia Bulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.

Guru Hatia Bulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung itu. Setelah sekian lama terbuktilah apa yang dinasehatkan oleh para penatua itu, benar apa adanya. Dilain waktu, Guru Hatia Bulan pergi ke lereng Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk di sana, dan membawa anak-anaknya kesana.

Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari Guru Hatia Bulan membawakan makanan untuk anaknya tersebut. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon (hau tadatada), pohon yang batangnya penuh dengan duri, dan mempunyai buah yang masak & manis.


Melihat buah pohon itu, maka timbullah hasratnya untuk memakannya, tetapi sebelum dia naik ke pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat (tersisa). Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore belum juga pulang-pulang adiknya. Diapun pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yang terjadi, sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.

Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dengan pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tada-tada itu, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat.

Seperti biasa si Guru Hatia Bulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon duri tada-tada tersebut dan dimana dia hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga. Melihat hal itu diapun menjadi sedih.


Dia menceritakan ini pada kawannya maka kawannya mempertemukan dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tadi untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si Datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan anak si Guru Hatia Bulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yg sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu. Guru Hatia Bulan dan para rakyat kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa, mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dengan mencari datu lain. 

Kemudian Guru Hatia Bulan mendengar kabar ada datu yang masyur, namanya Guru Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama juga.

Kemudian ada juga datang Datu Horbo Marpaung, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada  Si Aji Bahir (Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah roh, juga pada Datu  Si Baso Bolon. Seekor ular panjangpun meloncat juga di telan pohon itu. 

Guru Hatia Bulan sudah kehabisan akal karena ia telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik (gondang), pele-pelean, dan semua yang diminta para datu itu untuk roh yang ada di pohon tersebut.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan pada Guru Hatia Bulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu, Asalkan Guru Hatia Bulan mempercayai omongan si datu itu dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. 
Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah, roh air, roh kayu dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tersebut.

Guru Hatia Bulan mempersiapkan semua yang diperlukan oleh si datu untuk upacara tersebut sesuai dengan arahan si datu. Sesuai Petunjuk Datu mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yang ada di pohon tersebutpun jadi menghilang, begitu juga anjing dan ular yang tertelan pohon tersebut tadi. Semua orang yang menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru Hatia Bulan: "Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini”. 
Guru Hatia Bulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, 1 seperti manusia seekor anjing dan seekor ular.

Setelah selesai mengukir tongkat tersebut sesuai dengan wajahnya, maka semua orang kembali ke kampung Guru Hatia Bulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Dia juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang di ukir dalam tongkat tersebut. Setelah Guru Hatia Bulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Sekarang Giliran datu Parpansa Ginjang manortor (menari), melalui tortor ini dia kesurupan, dirasuki roh-roh dari orang-orang yang pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:

1. Si Aji Donda Hatahutan.

2. Siboru Tapi Nauasan.

3. Datu Parmanuk Koling yaitu Datu Pulo Punjung nauli.

4. Guru ManggantarPorang yaitu Guru MaranginBosi Si Datu Mallatang-maliting.

5. Si Sanggar Meoleol yaitu Datu Horbo Paung.

6. Si Upar mangalele yaitu Datu Siparjambulan Melbus-elbus.

7. Barita Songkar Pangururan yaitu Si Aji Bahir (Jolma So Begu).
8. Datu Si Baso Bolon.
9. Anjing dan ular

Dan mereka berkata, “Wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari wajah kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam, kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini aku tidak dapat mengukir wajah kalian”. Tetapi si pisau berbalik membalas, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”. Si tukang besi pun tidak ingin disalahkan lalu berkata, “Jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi”. Angin pun menjawab,”Jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru Hati Bulan”. ketika semua tertuju pada Guru Hati Bulan, maka roh itu berkata melalui si datu, “Aku mengutukmu, Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku”.

Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik, “Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”.

Lalu Roh itu berkata: “Baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku untuk: menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri, dan menghalau wabah Penyakit"

Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing. Adapun tinggi tongkat Tunggal Panaluan sekitar 170-179 cm dan biasanya dimiliki oleh Datu Bolon (dukun besar) yang punya ilmu cukup tinggi.

Demikianlah Legenda Tunggal Panoluan

Kamis, 24 November 2011

Versi Tunggal Panaluan

Tongkat Tunggal Panaluan 
Versi Lain


Tunggal Panaluan adalah satu Tongkat warisan leluhur Batak oleh semua  suku Batak tongkat ini diyakini memiliki kekuatan gaib, sulu i nagolap tukkot di nalandit fungsinya untuk: 
  • Membantu dalam peperangan.
  • Meminta hujan, 
  • Menahan hujan (manarang udan), 
  • Menolak bala, 
  • Menghalau Wabah, 
  • Mengobati penyakit,
  • Petunjuk dalam satu Ugasan tertentu.
  • Mencari dan menangkap pencuri,

Kisah Tongkat Tunggal Panaluan juga bervariasi. Salah satu kisahnya sebagai berikut :

Sepasang suami istri yaitu Datu Baragas Tunggal Pambarbar Na Sumurung (ahli ukir) dan istrinya Nan Sindak Panaluan, sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak. Mereka menanyakan hal tersebut kepada ahli ramal, ahli ramal menganjurkan agar mengganti patung-patung yang ada di rumahnya dengan yang lebih cantik. Maka pergilah Datu Baragas kehutan untuk mencari kayu yang cocok dijadikan patung, tetapi berhari-hari lamanya tidak ditemukan. Suatu saat ia (Baragas Tunggal) melihat di udara pohon melayang-layang tanpa cabang, daunnya kira-kira setinggi manusia. Baragas memohon kepada Mulajadi agar pohon tersebut diturunkan ke bumi dan ternyata dikabulkan. Pohon tersebut turun tepat ditempat peristirahatan (perberhentian) yang disebut Adian Naga Tolping. Baragas mengambilnya serta mulai mengukir sehingga berbentuk seorang gadis disebut Jonjong Anian. Setelah selesai, ia bermaksud membawa pulang, tetapi tidak dapat diangkatnya.

Beberapa hari kemudian saudagar kain dan perhiasan lewat lalu beristirahat ditempat tersebut. Saudagar melihat betapa cantiknya patung tersebut bila dikenakan pakaian dan perhiasan lengkap. Ia kemudian mengenakan pakaian, selendang, kerabu, kalung, gelang dan kancing emas. Ketika hendak pulang barang-barang tersebut tidak dapat dibuka walau dengan cara apapun. Lalu ia pulang dengan hati yang sangat kesal. Tersiarlah berita sampai keseluruh negeri dan sampai pada dukun Nasumurung Datu Pangabng-abaang Pangubung-ubung yaitu dukun yang dapat menghidupkan kembali yang mati atau menyegarkan yang busuk. Sang dukun pergi ketempat patung tersebut dengan membawa obat berkhasiat adapun tindakan yang dilakukan dukun itu adalah:
  • Meneteskannya ke mata patung, matanya langsung berkedip, 
  • Diteteskan kehidung terus bersin, 
  • Diteteskan lagi ke bibir sehingga komat-kamit, 
  • Diteteskan ke mulut terus dapat berbicara, 
  • Diteteskan ke telinga maka ia mendengar, 
  • Terakhir kesegala persendian, pergelangan tangan maupun kaki sehingga dapat bergerak dan berjalan.
Sehingga patung tersebut menjadi seorang gadis cantik jelita yang dapat berbuat seperti manusia, merasa seperti manusia dan juga berpikir layak manusia, diberi nama siboru Jonjong Anian Siboru Tibal Tudosan.

Datu Nasumurung membangun rumah untuk tempatnya bertenun yang dikawal harimau, babi dan anjing, tangga rumahnya dibuat dari pisau-pisau yang tajam. Banyak pemuda yang simpati padanya tapi untuk bertemupun tidak bisa, namun seorang pemuda berhasil memikat hatinya yang bernama Guru Satean Bulan dan sepakat untuk melaksanakan perkawinan. Berita itu tersebar luas diseluruh negeri dan sampai kepada Baragas (sipembuat patung), lalu mendatangi datu Pangabang-abang yang menanyakan hal itu. Terjadilah perselisihan antara sipembuat patung (pengukir), datu yang menghidupkan dan saudagar yang masing-masing mengatakan bahwa siboru Jonjong Anian adalah putrinya.
Perselisihan itu ditengahi oleh Si Raja Bahir-bahir (seorang penyumpit) yang menyatakan :
  • Baragas (pengukir)  pantas menjadi ayahnya, 
  • Saudagar kaya  menjadi bibinya,
  • Datu Pangabang-abang menjadi pamannya. 

Pendapat itu disetujui dan perkawinanpun dilaksanakan. Beberapa lama kemudian, Siboru Jonjong Anian mulai mengandung (hamil). Selama hamil Guru Satean Bulan senantiasa memenuhi permintaannya agar kelak tidak menjadi Abat-abat (halangan), walaupun permintaan tersebut terasa aneh dan menurut dia janggal. 
Ternyata kehamilannya diluar kebiasaan yaitu selama 12 bulan, setelah lahir ternyata kembar dua (marporhas), laki-laki dan perempuan, Guru Satean Bulan melaksanakan pesta pemberian nama (martutu aek). 
Yang laki-laki dinamai Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan adiknya si Tapi Nauasan Siboru Panaluan.

Tongkat Tunggal Panaluan dibuat setelah Ajibonda Hatautan dan Boru Tapinauasan, kembar lain jenis. Keturunan Guru Satean Bulan dan Siboru Jonjong Anian melakukan hubungan inses saat mereka beranjak dewasa.
Takut untuk pulang ke rumah orang tua mereka, Ajibonda Hatautan dan Boru Tapi Nauasan memilih tinggal di tengah hutan.
Celaka, mereka berdua malah lengket di pohon tersebut bersana-sama, dengan 7dukun dan binatang yang dikerahkan oleh Guru Satean Bulan untuk membebaskan putra dan putrinya, agar tetap bersama mereka. Guru Satean Bulan menyuruh seseorang untuk membuat tongkat panjang dari batang pohon tersebut. Tongkat itulah yang kemudian diberi nama Tongkat Tunggal Panaluan.

Horas